Laman

Translate

Selasa, 07 Mei 2013

"ARSITEKTUR SKIZOFRENIA" catatan pinggir dari Aceh


Oleh: Yogi K Widayana

Ini adalah sebuah catatan pinggir dari “Negeri Serambi Mekah“, atau Propinsi Nangro Aceh Darusalam pasca tsunami. Belum hilang dalam ingatan Bangsa Indonesia atas tragedi kemanusian bencana gempa dan tsunami Aceh, tanggal 26 Desember 2004 yang silam. Mungkin gegap gempita membangun kembali Aceh sudah mulai berkurang. Kita sekarang disuguhkan berbagai bangunan baru di tanah Aceh. Walaupun sebetulnyabukan hanya sekedar membangun kembali gedung-gedung yang telah hancur diterjang tsunami, melainkan sebuah perenungan besar bahwa Bencana alam adalah sebuah keniscayaan, dapat terjadi dimanapun, dan kapanpun, yang menuntut para pemangku kebijakan untuk arif memaknainya, tidak terkecuali peran arsitek dalam karya arsitekturnya membangun kembali Aceh dengan penuh harapan. Sebuah perenungan untuk menggali memori tentang rekam jejak yang pernah ada di tanah Aceh. Pada sisi ini pasti masih tersisa sesuatu yang tak’ lekang hanya karena sebuah bencana yaitu nafas budaya serta tradisi aceh, sebuah manifestasi kebudayaan masyarakat Aceh.
Terlepas dari itu semua, Arsitektur bukanlah gerakan politik praktis yang memiliki kapasitas menggerakan kebijakan publik, arsitektur hanyalah sebuah hasil olah gagasan yang seharusnya memiliki konsep yang konsisten, baik yang diperoleh dari intuisi maupun rasionalitasnya(tujuan, penulusuran masalah, analisa). Dalam situasi yang sangat “chaos” sekalipun.
Pertanyaan adalah “Apakah konsep ber-arsitektur-pun terpaksa harus hanyut terbawa gelombang Tsunami?”, ataukah arsiteknya yang terhinggapi rasa traumatik yang begitu dalam sehingga gagasannyapun turut Chaos. Sepertinya bukan hal mustahil, walaupun perlu kajian yang lebih lanjut lagi dari segi keilmiahannya untuk mengetahui secara pasti gangguan kejiwaan yang dialami seorang arsitek ketika melihat akibat dari Tsunami Aceh.
Dari beberapa cukilan saya tenatang makna ‘Chaos”, adalah : “…Chaos menunjukkan ketidakberaturan, kekacauan, keacakan atau kebetulan, yaitu: gerakan acak tanpa tujuan, kegunaan atau prinsip tertentu.”[1]Seperti juga alam raya ini yang didalamnya ada manusia, tampak dinamis mengikuti sistemnya, sepertinya semua berjalan linier, akan tetapi tidak semua gejala alam berjalan mengikuti sistem linier, walaupun tetap dapat dikaji secara ilmiah, namun datangnya secara acak, sporadis, dan tanpa keteraturan, inilah ‘Chaos’.Akibat ikutannya bukan hal yang mustahil menimbulkan rasa traumatik yang mendalam, seperti penyakit kejiwaan “Skizofrenia.”
Skizofrenia dalam terminologi DSM IV - TR (Diacnostic and Stastistical Manual of Mental Disorder Fourth Edition) adalah “Kekacauan jiwa yang serius yang ditandai dengan kehilangan kontak pada kenyataan, halusinasi, khayalan (kepercayaan yang salah), pikiran yang abnormal dan mengganggu kerja dan fungsi sosial. Seperti terjadinya ketidakserasian antara perasaan, kognitif/pikiran, dan perilaku. Jadi bukan tanpa sebab yang mendahuluinya jika seorang arsitek yang melihat begitu banyaknya mayat-mayat bergelimpangan, bercampur dengan puing-puing, hingga memunculkan sebuah gagasan yang kacau dibenaknya, hingga melakukan tindakan atau perilaku aneh yang didasari oleh pikirannya yang kacau, menjadi suatu keadaan kejiwaan yang melebih-lebihkan setiap situasi dan keadaan (Hyper). Seperti melihat kapal yang seharusnya berada dilaut tiba-tiba dia melihatnya setelah tsunami berada diatas atap rumah, membayangka jika dia berada dalam kapal itu, berapa banyak nyawa manusia yang diterabasnya, hingga akhirnya dia berkhayal dalam kesunyian jiwa yang berlebihan.
Kapal yang sekarang berada diatas atap ini bukan disengaja dipindahkan dari dermaga, melainkan terbawa gelombang tsunami, dan bukan pula hasil rancang arsitektur dengan konsep analogi bentuk kapal/perahu.


Kapal pembangkit listrik terapung ini bisa masuk kota juga disebabkan tsunami, bayangkann dengan bobotnya yang berat, berapa rumah dan jiwa yang diterabasnya hingga kapal ini berada di tengah kota

sebuah cerita jiwa yang sunyi, luluh lantak, rata. Apakah tiada jejak yang masih tersisa?
Sebuah Ekspresi "Chaos" dari Gedung Walikota Banda Aceh, mungkinkah ini analogi dari tumpukan-tumpukan puing dan sampah yang hanyut terbawa gelombang Tsunami?, atau sebuah eksprsi kesunyian jiwa? atau Kekacauan jiwa yang serius yang ditandai dengan kehilangan kontak pada kenyataan, halusinasi, khayalan (kepercayaan yang salah), pikiran yang abnormal dan mengganggu kerja dan fungsi sosial. Seperti terjadinya ketidakserasian antara perasaan, kognitif/pikiran, dan perilaku.


YANG PASTI INI BUKAN

Meminjam konsep Dekonstruksi-nya Jacques Derrida(1967), seorang ahli bahasa yang juga filsuf yang menelaah secara radikal bahasa Strukturalisme Ferdinand deSaussure(1906-1911). Terlepas dari apakah konsep Dekonstruksi yang dulunya adalah semacam reaksi terhadap modernisme dalam perkembangan filsafat ilmu berdasar pada ratio, logos dalam intelektual manusia. Dalam konteks Aceh bisa juga ini diterapkan, sebagaimana peranan logos, yaitu menciptakan, mengorganisasi, menyusun suatu jalan pikiran dengan sistem yang jelas, maka hal-hal yang kecil, hal-hal yang dasar menjadi hilang. Pengalaman individual, pengalaman  pribadi yang begitu “kaya” biasanya dihilangkan demi mencapai suatu konstruksi yang jelas, tegas dan tepat. Tapi bahasa semiotik arsitektur yang tersirat dan tersurat pada gedung Walikota Banda Aceh ini tampaknya tidak menunjuk kepada konsep Dekonstruksi-nya Jacques Derrida. 

MUNGKIN KITA DAPAT MENELUSURINYA DARI SINI
Sebelum terjadinya Tsunami, berbagai lintas persoalan melilit Aceh, hingga melemahkan pemahaman kebudayaan di Aceh. Anggap saja itu semacam karena latah menghubungkan antara kenyataan dengan keyakinan. Dapat dilihat dari beberapa catatan yang membiarkan sisi-sisi penting dari Aceh dalam konteks sejarah yang hampir semua diambil dari sisi politiknya saja. Pasca Tsunami, Aceh kembali terjepit diantara kenyataan kebutuhan mendesak dan keyakinan. Hingar-bingar bantuan dari berbagai negara, membuat Aceh mendapat kelimpahan sumbangan dalam arti luas. Maka tidak heran jika, bangunan baru khususnya sarana publik, mendapat kelimpahan material yang sebetulnya terlalu berlebihan jika itu diterapkan dalam konteks ke-Aceh-an, baik dari segi geografis, kebudayaan, cagar budaya, maupun demografis. Ini sebuah fakta yang sangat merugikan untuk masa depan kebudayaan Aceh. Seperti juga terjadi ketika banyak orang luar yang menuliskan sejarah Aceh, seperti Snouck Hurgronje dari Belanda, Denys Lombard dari Perancis, dan Anthony Reid dari Selandia Baru. banyak hal yang patut diragukan dengan sejarah yang mereka tulis seperti menyelipkan dusta-dusta untuk memburukkan Aceh. Dan dalam situasi yang 'Chaos' akibat tsunami, "Adakah dusta-dusta yang diselipkan kedalam bangunan baru kantor Walikota Banda Aceh?." Ini opini saya, bagaimana menurut anda?, Mudah-mudahan catatan kecil menjadi ruang yang bermanfaat.

[1] Alan Woods & Ted Grant, Reason in Revolt: “Revolusi Berpikir Dalam Ilmu Pengetahuan Modern,” (Yogyakarta:IRE Press, 2006), hlm.156)

Tidak ada komentar: