Laman

Translate

Sabtu, 04 Mei 2013

"ARSITEKTUR; MENGGUGAH RASA, MEMBANGUN PERADABAN MANUSIA," catatan pinggir dari Rudrapur (BAGIAN.I)

JELAJAH ARSITEK DAN ARSITEKTUR kali ini jalan-jalan ke Rudrapur, sebuah desa di bagian utara Bangladesh. Kita akan menemukenali karya arsitek berkebangsaan Jerman, yang jauh dari hiruk pikuk metropolitan.
Jauh panggang dari api, jika membayangkan karya kedua arsitek ini, kita sudah terbiasa senang melihat sisi ‘Kemegahan’ dari sebuah karya arsitektur, apalagi jika teknik visualisasi presentasinya sungguh memanjakan mata, sehingga kita lupa untuk mengedipkan mata, walau sejenak. Saya tidak berani mengatakan ini semacam contoh karya arsitektur berbasiskan ‘Kearifan Lokal’, semata-mata menghindari kesinisan menyoal ‘Kearifan Lokal’, yang sebetulnya Indonesia adalah lumbung dari ‘Arsitektur berbasiskan kearifan lokal’.
Saya melihat ini sebagai suatu simbol keberhasilan seorang arsitek dari sisi yang lain, diluar kebiasaan pada umumnya.

GBR.1:Tampak depan Sekolah METI ; Sebuah solusi desain yang berbasis kearifan local, hanya sebuah contoh, mungkin tidak bisa sesederhanan mereplikasikan untuk desa-desa di Indonesia, karena setiap wilayah memiliki rona kekhasannya sendiri-sendiri, namun ada sebuah penga;laman yang dapat kita petik bahwa; “Solusi desain baru dapat muncul dari sebuah pengetahuan yang mendalam tentang konteks local, dengan pembahasaan, kelokalitasannya, dan metode membangun,  untuk diterapkan kedalam bangunan.Ini adalah sebuah model otentik dan segar untuk pembangunan berkelanjutan secara global. Sebuah karya yang dibangun secara heroic, menciptakan keindahan, penuh makna, lebih memanusiakan manusia, ruang manusia kolektif untuk pembelajaran yang memperkaya kehidupan anak-anak bagi masa depannya.
METI, adalah nama untuk sebuah sekolah non formal, dibangun atas inisiatif dari, Dipshikha-informal education, training and research society for village development,”  sebuah organisasi non profit yang berdiri sejak tahun 1978. Sekolah ini menerapkan konsep pendekatan pendidikan khusus tentang bagaimana melakukan praktek pendidikan anak dan pembangunan perdesaan secara terpadu untuk mendorong kemandirian masyarakat pedesaan melalui konsep pembangunan berkelanjutan. Sekolah METI mulai beroperasi sejak tahun 1999 di Rudrapur, sebuah desa di bagian utara Bangladesh. Kemudian berlanjut replikasinya di kota Dinajpur, Osmanpur, Ghoraghat atas permintaan daerah-daerah tersebut. 
Sekolah METI Rudrapur di Bangladesh  adalah salah satu karya arsitektur yang mendapatka penghargaan The Aga Khan Award tahun 2007. Sekolah METI Rudrapur adalah proyek buatan tangan yang menakjubkan, menampilkan praktek desain yang berkelanjutan, arsitektur lokal, elegan sekering pengetahuan lokal, menggunakan bahan-bahan terbarukan yang sudah tersedia dan teknik konstruksi baru. Proyek ini adalah manifestasi mempertahankan identitas tradisional sambil merangkul modernitas baik dalam bentuk dan tujuan yang telah mendorong pembangunan sosial dan restorasi. Proyek ini juga mendapat penghargaan dari InternationalBamboo Building Design Competition pada tahun 2007 sebagai Desain visioner untuk Ekologis Hidup, menerima “AR Award” untuk Emerging Arsitektur dan tahun 2006-07, Kenneth F. Brown Asia Pacific Culture and Architecture Design Awards.”

Apa yang menarik dari karya arsitek Anna dan Eike ini; 
Bangunan juga disebut sebagai ‘Handmade’, artinya dibangun.dibuat oleh tangan mereka sendiri, semacam prakarya yang dilakukan secara gotong royong(para relawan dari Jerman dan austria, pengrajin, guru, orang tua dan siswa, yang dilaksanakan selama periode September-Desember tahun 2005). dengan bahan-bahan yang memang sudah tersedia di desa Rudrapur, dan berdasarkan kebiasaan membangun masyarakatnya. 

Gbr.2: Pembuatan dinding : Metode konstruksi yang digunakan adalah mencampurkan tanah basah(semacam lumpur tanah liat) dengan jerami, material campuran ini digunakan sebagai bahan dinding yang disusun berlapis-lapis, setiap lapisan tingginya sekitar 50-70 cm, dan setelah itu dikeringka selama beberapa hari. Untuk pembentukannya agar rapih secara geometris, sisi-sisinya dipangkas dengan menggunakan sekop yang tajam untuk memperoleh permukaan dinding datar. Setelah periode pengeringan kedua, baru lapisan selanjutnya dapat ditambahkan. Tanah di wilayah ini sangat cocok untuk konstruksi tersebut dan agar kesetabilan bentuk tetap terjaga maka dicampur jerami, untuk lebih memperkuat biasa juga ditambahkan dengan cangkang padi. Keberadaan dinding yang terbuat dari campuran tanah dengan jerami juga sebagai struktur penopang bangunan dan penyalur beban ke pondasi.
Gbr.4: Metode pembentukan dinding, kemudian dipangkas/dibentuk dengan menggunakan skop yang tajam
Gbr.3.Metode Mixing : Menggunakan tenaga Sapi untuk mengaduk dan mencampur tanah liat, jerami, dedak padi dan sedikit menambahkan air. Seperti cara kerja Molen pencampur adukan beton

























Karakter arsitekturlokal; arsitektur lokal adalah sebuah ungkapan dalam arti luas, yang diakui/dimiliki bersama dalam sebuah komunitas tertentu. Karakter arsitektur lokal Rudrapur, dapat dilihat dari ungkapan masyarakat setempat dari cara dan ekpresi bangunan hunianya yang rata-rata sebagai petani. Dinding lumpur dan atap jerami-jerami. Bambu juga digunakan secara luas - sebagai anggota struktural (diikat dengan juteropes / string), atau diratakan untuk dinding panel, atau hanya dijalin bersama untuk menjadi sebagai tirai/layar. Bahan-bahan  bangunan inilah yang tersedia di Rudrapur. 
Bagaimana penerapannya di sekolah METI Rudrapur?

Gbr.5. Ekspresi Arsitektur; Dengan melihat kondisi eksistingnya, serta dorongan dari klien,  arsitek mengeksplorasi dinamika kelokalan, menjadi sebuah bangunan dengan ekspresi baru dalam ungkapan desain menampilkan konstruksi dinding-lumpur yang tebal selain berfungsi sebagai struktur, juga berguna untuk insulasi panas. Satu hal yang diperbaiki oleh Anna adalah mengganti atap jerami dengan asbes yang lebih awet ketimbang jerami, untuk mengantisipasi panas diakibatkan asbes maka pada interiornya dilapisi kain dengan warna-warna yang meniru warna pakaian wanita desa ini. Kemudian, pada lantai diatasnya, tidak menggunakan dinding lumpur, tetapi menggunakan bambu, agar sirkulasi udara dapat mengalir dari celah-celah bambu, sehingga diharapkan udara dalam ruang dalamnya tidak panas. Dengan menggunakan bahan bangunan lokal yang tersedia tampaknya menjadi solusi yang baik, metode tradisional yang berkelanjutan.
Catatan pinggir ini masih panjang, nantikan bagian selanjutnya.

Tidak ada komentar: