Oleh : barokahselalu
Tulisan ini hanyalah sebuah pandangan lain
tentang bagaimana seorang arsitek dalam penghidupannya, terutama bagi arsitek
yang hidup di Indonesia. Membaca tulisan ini tidak membutuhkan rujukan,
semacam; ‘KodeEtik Arsitek dan Kaidah Tata Laku
Profesi Arsitek’, karena dalam pandangan tulisan ini menempatkan
arsitektur bukanlah sebuah profesi absolut, tapi sebuah panggilan jiwa, tidak
juga ‘karier’, karena arsitektur adalah cara hidup dari seorang arsitek,
diantara cara-cara hidup lainnya. Arsitektur adalah semangat membangun
peradaban. Oleh karenanya makna arsitektur tidak bisa disempitkan hanya kedalam
ranah profesi. Pandangan ini bukan tanpa alasan, karena banyak arsitek telah
terjebak kedalam pemikiran profesi dan komoditas. Jangan heran jika informasi
tentang ‘Keluhan menjadi arsitek’ yang berbasiskan komoditas, menumpuk di media
sosial atau di jejaring internet.
Di Indonesia memang tidak terlalu menarik untuk meneliti kehidupan seorang arsitek, kalah menariknya dengan mewacanakan Undang-undang arsitek. Tapi sebetulnya ‘Kegalauan’ menyoal profesi yang satu ini bukan hanya terjadi di Indonesia. Katakanlah itu Negeri Paman Sam (Amerika); Bagi Christopher N. Henry dalam archdaily.com, “Arsitektur tidak memungkinkan membuat kehidupan seorang arsitek itu hidup layak." Benar atau tidaknya pernyataan ini sebetulnya juga masih relatif, kalah hebat dengan pandangan tradisi kita pada umumnya, “Kalau rejeki itu tidak pernah salah saku.”
Di Indonesia memang tidak terlalu menarik untuk meneliti kehidupan seorang arsitek, kalah menariknya dengan mewacanakan Undang-undang arsitek. Tapi sebetulnya ‘Kegalauan’ menyoal profesi yang satu ini bukan hanya terjadi di Indonesia. Katakanlah itu Negeri Paman Sam (Amerika); Bagi Christopher N. Henry dalam archdaily.com, “Arsitektur tidak memungkinkan membuat kehidupan seorang arsitek itu hidup layak." Benar atau tidaknya pernyataan ini sebetulnya juga masih relatif, kalah hebat dengan pandangan tradisi kita pada umumnya, “Kalau rejeki itu tidak pernah salah saku.”
Menurut laporan “National Survey on Drug Use and Health(NSDUH)” banyak arsitek mengalami depresi, kemudian
terjerembab kedalam penyalahgunaan zat-zat aditif dan mengalami gangguan kesehatan
mental. Dalam laporannya membandingkan arsitek dan insinyur dengan
profesi/pekerjaan lainnya, menemukan kecenderungan lebih tinggi menderita
depresi, walaupun laporan ini masih dipertanyakan; Memasukan arsitek dalam
kelompok insinyur dan surveyor. Sama kejadiannya jika arsitek dikelompokan
dalam profesi artis, dimana tingkat perceraian menjadi tinggi, setidaknya
begitu yang saya tafsirkan dari “National Endowment for the Arts (NEA).” Terlepas dari pendapat dan akurasi
matematisnya, setidaknya profesi yang satu ini sudah masuk dalam daftar yang
patut dicurigai. Menyoal soal depresi, sangat mungkin terjadi, mengingat tidak
berimbangnya antara pendapat seorang arsitek dengan tuntutan kehidupan ‘Gaya
arsitek’.
Lebih kacau lagi jika harus percaya
dengan ucapan Profesor Robert Sapolsky,
seorang ahli neuroendocrinologist, primata, dan ahli terkemuka dalam penyakit
kejiwaan seperti depresi dan stres, menulis, "… Jika Anda ingin
meningkatkan peluang hidup lebih panjang dan sehat, jangan miskin!!…" Jadi, membicarakan soal ‘Umur, kaya atau
miskin’, rasanya itu tidak relevan, karena berada diluar konteks dan kendali
arsitek. Tapi sepertinya tidak juga dapat dikesampingkan begitu saja, mungkin
benang merahnya dapat kita telusuri melalui status sosial. Pertanyaan
selanjutnya “Dalam kelompok apa status sosial arsitek?.” Yang sudah terlanjur
mendapat predikat ‘Wah’ dimata masyarakat kita.
Sampai pada titik ini, saya-pun
menjadi bingung untuk menjawabnya, “Tak’semudah mengatakannya melalui bahasa
tulisan.”
Tapi saya meyakini bahwa dukungan
sosial dari pasangan kita dapat menurunkan kadar glukokortikoid, hormon stress,
karena gejala-gelala penyakit sosio-ekonomik ini lebih dulu lahir dari dalam
keluarga(internal), baru kemudian faktor eksternal. Setidaknya ketahanan sosial
yang berbasiskan keluarga jauh lebih menentramkan jiwa ketimbang harus percaya
kepada pendapatnya Sapolsky.
Di Indonesia ini memang agak membingungkan, tingkat depresi mental itu masih tabu untuk diungkapkan secara gamblang, namun kita dapat menelusurinya melalui gaji seorang arsitek(bekerja di perusahaan konsultan), dari arsitek pengalaman nol tahun hingga arsitek pengalaman sepuluh tahunan, kisaran gajinya dari 2juta sampai dengan 4juta-an, dengan pendapatan yang demikian, besar kemungkinan dapat memicu ‘stres’ jika patokannya berdasarkan nilai uang dalam satu wilayah(Jakarta), dibandingkan dengan pandangan ‘wah’ oleh masyarakat. Agak beruntung, jika bekerja di perusahaan yang cukup mapan, biasanya untuk jabatan tertentu mendapat mobil dari perusahaan, dan untuk semua jabatan pada umumnya akan mendapat bonus akhir tahun atau bonus prestasi. Agak miris memang, jika Arsitektur dipertaruhkan dalam meja bisnis dan profesi. Bagi yang tidak beruntung, sepertinya harus percaya pada angka-angka yang disajikan oleh BPS(Badan Pusat Statistik) menyoal pengangguran dengan pendidikan sarjana, walaupun tidak spesifik menyebutkan angka dan dari sarjana apa saja. Dalam dunianya yang mau tidak mau sarat dengan nuansa komoditas, arsitektur memang terpaksa harus berhadapan dengan ‘Rupiah’. Tapi sepertinya tidak untuk NEA, walaupun penelitian ini bukan untuk Indonesia, mengklaim bahwa dalam masa resesi, tingkat pengangguran arsitektur cenderung menjadi yang terendah di antara semua pekerjaan dalam kategori Artis NEA. Dalam pemikiran saya mungkin saja memprediksi arsitektur menjadi salah satu pasar terbesar pertumbuhan di masa depan, lebih pada konteks art atau seni, semisal industri kreatif yang berbasiskan pada produk-produk keahlian mandiri.
Lebih dari soal prediksi-memprediksi melalui angka statistik dan atau terlalu mendengar banyak pakar dan lembaga survey, sepertinya untuk arsitek yang ada di Indonesia memang tidak luput dari sorotan masyarakat menyangkut status sosial, kemudian berubah menjadi ‘merasa miskin’, dan berakhir dengan stress. Yang jadi pertanyaan itu apakah profesi arsitek itu panggilan atau keterpaksaan? Tidak mudah untuk menjawabnya, semua relative, tergantung situasi dan kondisi, tergantunng ruang dan waktu.
Terlepas dari sifat kerelatifannya, apakah profesi ini panggilan atau keterpaksaan, dalam pandangan ketimuran; “Bukan alasan yang kuat mengorbankan, keluarga, rumahtangga, kekerabatan sosial, kesejahteraan, dan kesehatan mental, demi arsitektur dalam konteks profesi arsitek.” Dan tidak juga untuk melarikan diri dari arsitektur yang sudah tertanam dalam jiwa.
Di Indonesia ini memang agak membingungkan, tingkat depresi mental itu masih tabu untuk diungkapkan secara gamblang, namun kita dapat menelusurinya melalui gaji seorang arsitek(bekerja di perusahaan konsultan), dari arsitek pengalaman nol tahun hingga arsitek pengalaman sepuluh tahunan, kisaran gajinya dari 2juta sampai dengan 4juta-an, dengan pendapatan yang demikian, besar kemungkinan dapat memicu ‘stres’ jika patokannya berdasarkan nilai uang dalam satu wilayah(Jakarta), dibandingkan dengan pandangan ‘wah’ oleh masyarakat. Agak beruntung, jika bekerja di perusahaan yang cukup mapan, biasanya untuk jabatan tertentu mendapat mobil dari perusahaan, dan untuk semua jabatan pada umumnya akan mendapat bonus akhir tahun atau bonus prestasi. Agak miris memang, jika Arsitektur dipertaruhkan dalam meja bisnis dan profesi. Bagi yang tidak beruntung, sepertinya harus percaya pada angka-angka yang disajikan oleh BPS(Badan Pusat Statistik) menyoal pengangguran dengan pendidikan sarjana, walaupun tidak spesifik menyebutkan angka dan dari sarjana apa saja. Dalam dunianya yang mau tidak mau sarat dengan nuansa komoditas, arsitektur memang terpaksa harus berhadapan dengan ‘Rupiah’. Tapi sepertinya tidak untuk NEA, walaupun penelitian ini bukan untuk Indonesia, mengklaim bahwa dalam masa resesi, tingkat pengangguran arsitektur cenderung menjadi yang terendah di antara semua pekerjaan dalam kategori Artis NEA. Dalam pemikiran saya mungkin saja memprediksi arsitektur menjadi salah satu pasar terbesar pertumbuhan di masa depan, lebih pada konteks art atau seni, semisal industri kreatif yang berbasiskan pada produk-produk keahlian mandiri.
Lebih dari soal prediksi-memprediksi melalui angka statistik dan atau terlalu mendengar banyak pakar dan lembaga survey, sepertinya untuk arsitek yang ada di Indonesia memang tidak luput dari sorotan masyarakat menyangkut status sosial, kemudian berubah menjadi ‘merasa miskin’, dan berakhir dengan stress. Yang jadi pertanyaan itu apakah profesi arsitek itu panggilan atau keterpaksaan? Tidak mudah untuk menjawabnya, semua relative, tergantung situasi dan kondisi, tergantunng ruang dan waktu.
Terlepas dari sifat kerelatifannya, apakah profesi ini panggilan atau keterpaksaan, dalam pandangan ketimuran; “Bukan alasan yang kuat mengorbankan, keluarga, rumahtangga, kekerabatan sosial, kesejahteraan, dan kesehatan mental, demi arsitektur dalam konteks profesi arsitek.” Dan tidak juga untuk melarikan diri dari arsitektur yang sudah tertanam dalam jiwa.
Arsitektur itu bukan hanya persoalan
menyelesaikan masalah perancangan, tapi dia juga harus berhadapan dengan
masalah pisikologis dirinya. Apakah menjadi sebuah pekerjaan yang menyenangkan
atau sebaliknya. Berkaitan dengan pisikologis seorang arsitek,
paling tidak ada tiga hal yang terkait dengan masalah kesehatan mental yang
harus dijaga oleh seorang arsitek :
- Narcissistic itu adalah gangguan kepribadian (Personality Disorder). Bersifat introvet, berpusat pada diri sendiri, apalagi jika sudah ada karyanya yang sedikit saja diakui, kemudian asyik berfantasi atas keberhasilannya, kemudian mulai mencari perhatian orang lain agar melihat karyanya(diluar batas-batas kenormalan mengharapkan penyangjungan). Hubungan menjadi interpersonal terganggu karena kurang empati(padahal factor interpersonal sangat dibutuhkan oleh arsitek abad 21), tanpa timbal-balik empati(memaksa orang lain untuk melakukan yang terbaik untuknya, tanpa keinginan untuk berempati membalas kebaikannya), menegasikan saling menghargai dan menghormati.
- Masochistik, sikap sadistik, baik kepada orang lain maupun kepada dirinya sendiri, biasanya dalam perusahaan terjadi penekanan yang sifatnya mengancam secara halus kepada bawahannya untuk memaksakan gagasannya diluar batas-batas kenormalan, bahkan dirinya akan merasa puas menjadi obyek yang disakiti melalui pekerjaan-pekerjaan arsitekturnya.
- Obsessive-Compulsive Disorder, itu semacam gangguan kecemasan (Anxiety Disorder): pikiran-pikiran yang ‘kekeh irasional’, yang tanpa Ia sadari datang secara reflek tak terkendali, seperti bertanya berulang-ulang dalam pertanyaan yang sama, mondar-mandir melihat pekerjaan perancangannya, terobsesi dengan hasil pekerjaannya yang belum nyata terlihat, sehingga muncul rasa ragu yang ekstrim, ketakutan ketidakberhasilan, hingga ketidakmampuan mengambil keputusan.
Kesimpulannya;
- Jika kita ingin menjadi Arsitek yang mencintai arsitektur tanpa Phobia, ubah cara berpikir, secara medis memang ini gangguan pada otak, tapi sebetulnya kita sudah sadar berdasarkan pengalaman berarsitektur, masalah kecemasan memang tidak mudah untuk dikesampingkan begitu saja, ditambah dengan berbagai sorotan sosial dan tuntutan profesi. Meminjam kata-kata bijak Mario Teguh, “Kekuatan terbesar yang mampu mengalahkan stress adalah kemampuan memilih pikiran yang tepat. kita akan menjadi lebih damai bila yang kita pikirkan adalah jalan keluar masalah.”
- Karya Arsitektur yang baik bukan lahir dari arsitek yang terpenjara oleh istilah ‘Profesi dalam institusional’. Pekerjaan arsitektur bukan keterpaksaan dalam penderitaaan jiwa oleh karena itu tidak ada keharusan untuk melebih-lebihkan(hyper) pekerjaan ini diatas pekerjaan-pekerjaan lainnya. Sikap professional, proposional, situasional, dan kondisional, adalah kata lain dari pandai melihat ke-diri-annya yang berada dalam realitas keluarga dan masyarakat.
- Seperti tidak ada bedanya membayangkan seorang arsitek yang memiliki banyak cara untuk mengejar penghidupannya diluar profesi arsitek dalam pandangan tradisional sebagai perencana dan perancang. Banyak pilihan turunan dari profesi ini yang boleh dinikmati oleh seorang arsitek, tanpa harus terkena penyakit kecemasan. Ini bukan soal sambi-menyambi(karena setiap pekerjaan menuntut konsekuensi logisnya/sikap profesionalisme), tapi ini soal hidup dan penghidupan yang dapat menghalau kecemasan, sehingga itu menjadi sebuah pekerjaan yang menyenangkan.
- Jangan membolak-balikan teori Abraham Maslow tentang segitiga piramida ‘Kebutuhan Manusia’, jika itu yang kita lakukan, maka bukan bentuk segitiga piramida yang kita lihat, melainkan kekacauan bentuk yang menghasilkan kecemasan tanpa ujung.
- Banyak arsitek yang sering menggunakan kata-kata bombastis, seperti: under-estimate dengan kata “Drafter” seolah-olah sebuah pekerjaan yang “…Gimana,gituuu!!”, padahal menurut sepengalaman saya hampir semua perusahaan besar pernah menjadi “drafternya Bule!”, kemudian supaya ‘keren’, dia menghaluskan kata itu menjadi DED(detail engineering design), atau mulai dengan sikap kecemasannya merasa malu jika diketahui oleh rekan lainnya, sehingga tindakan ‘Ngaku-ngaku’ mulai diwacanakannya. Menurut hemat saya ini adalah sebentuk penyakit jiwa. Jika anda mau sehat, lakukan semua itu dengan perasaan riang/menyenangkan, setiap pekerjaan adalah amanah dalam kerangka tugas kemanusian kita dihadapan Allah sebagai penentu rejeki.
- Dengan kemajuan zaman dibidang teknologi komputer, maka melahirkanlah berbagai softwear yang bisa menggantikan tenaga manusia, bukan saja soal ‘tenaga’ yang tergantikan, ditandai dengan kemunculan AutoCad, juga soal ‘nilai rasa’, seperti keahlian yang dulunya dinamakan ‘Gambar Perspektif’, menjadi gambar 3D plus rendering. Satu persatu semua tugas arsitek yang dulunya mengandalkan rasa dan intuisi akan tergantikan dengan softwear-softwear komputer. Yang jadi pertanyaan, “Kenapa kemajuan teknologi ini melahirkan kecemasan baru,” dibarengi dengan istilah-istilah “Itu bukan Arsitek, itu operator computer”, atau “Arsitek gadungan”. Realitasnya hampir semua perusahan menuntut keahlian ini, plus mempersyaratkan lulusan sarjana/D3. Jadi untuk apa meributkannya, sehingga menambah kegaduhan atas kemunculan ‘Barang-barang baru’, kenapa tidak memilih untuk mengenalnya “Tak’kenal maka tak’sayang,”, tidak ada istilah tercela dengan kata ‘Operator komputer’, kembali meminjam kata-kata bijak Mario Teguh “Orang lanjut usia yang berorientasi pada kesempatan adalah orang muda yang tidak pernah menua ; tetapi pemuda yang berorientasi pada keamanan, telah menua sejak muda.”
Hidup hanya sepanjang napas, kenapa harus
memenjarakan diri kepada ‘Profesi arsitek’
dalam arti sempit dan tradisional, bahkan mengkotakan diri dalam
institusional, bukankah arsitek membutuhkan ‘Kebebasan’,
dimana sebetulnya menjadi keharusan untuk melahirkan karya arsitektur dari
arsitek-arsitek yang sehat, sehingga diharapkan dapat menorehkan karya emasnya
dalam peradaban manusia.