Laman

Translate

Senin, 29 April 2013

ARSITEKTUR ITU MENYENANGKAN

Oleh : barokahselalu

Tulisan ini hanyalah sebuah pandangan lain tentang bagaimana seorang arsitek dalam penghidupannya, terutama bagi arsitek yang hidup di Indonesia. Membaca tulisan ini tidak membutuhkan rujukan, semacam;KodeEtik Arsitek dan Kaidah Tata Laku Profesi Arsitek, karena dalam pandangan tulisan ini menempatkan arsitektur bukanlah sebuah profesi absolut, tapi sebuah panggilan jiwa, tidak juga ‘karier’, karena arsitektur adalah cara hidup dari seorang arsitek, diantara cara-cara hidup lainnya. Arsitektur adalah semangat membangun peradaban. Oleh karenanya makna arsitektur tidak bisa disempitkan hanya kedalam ranah profesi. Pandangan ini bukan tanpa alasan, karena banyak arsitek telah terjebak kedalam pemikiran profesi dan komoditas. Jangan heran jika informasi tentang ‘Keluhan menjadi arsitek’ yang berbasiskan komoditas, menumpuk di media sosial atau di jejaring internet.
Di Indonesia memang tidak terlalu menarik untuk meneliti kehidupan seorang arsitek, kalah menariknya dengan mewacanakan Undang-undang arsitek. Tapi sebetulnya ‘Kegalauan’ menyoal profesi yang satu ini bukan hanya terjadi di Indonesia. Katakanlah itu Negeri Paman Sam (Amerika); Bagi Christopher N. Henry dalam archdaily.com, “Arsitektur tidak memungkinkan membuat kehidupan seorang arsitek itu hidup layak." Benar atau tidaknya pernyataan ini sebetulnya juga masih relatif, kalah hebat dengan pandangan tradisi kita pada umumnya, “Kalau rejeki itu tidak pernah salah saku.”  
Menurut laporan “National Survey on Drug Use and Health(NSDUH)” banyak arsitek mengalami depresi, kemudian terjerembab kedalam penyalahgunaan zat-zat aditif dan mengalami gangguan kesehatan mental. Dalam laporannya membandingkan arsitek dan insinyur dengan profesi/pekerjaan lainnya, menemukan kecenderungan lebih tinggi menderita depresi, walaupun laporan ini masih dipertanyakan; Memasukan arsitek dalam kelompok insinyur dan surveyor. Sama kejadiannya jika arsitek dikelompokan dalam profesi artis, dimana tingkat perceraian menjadi tinggi, setidaknya begitu yang saya tafsirkan dari “National Endowment for the Arts (NEA).” Terlepas dari pendapat dan akurasi matematisnya, setidaknya profesi yang satu ini sudah masuk dalam daftar yang patut dicurigai. Menyoal soal depresi, sangat mungkin terjadi, mengingat tidak berimbangnya antara pendapat seorang arsitek dengan tuntutan kehidupan ‘Gaya arsitek’.
Lebih kacau lagi jika harus percaya dengan ucapan Profesor Robert Sapolsky, seorang ahli neuroendocrinologist, primata, dan ahli terkemuka dalam penyakit kejiwaan seperti depresi dan stres, menulis, "… Jika Anda ingin meningkatkan peluang hidup lebih panjang dan sehat, jangan miskin!!…" Jadi, membicarakan soal ‘Umur, kaya atau miskin’, rasanya itu tidak relevan, karena berada diluar konteks dan kendali arsitek. Tapi sepertinya tidak juga dapat dikesampingkan begitu saja, mungkin benang merahnya dapat kita telusuri melalui status sosial. Pertanyaan selanjutnya “Dalam kelompok apa status sosial arsitek?.” Yang sudah terlanjur mendapat predikat ‘Wah’ dimata masyarakat kita.
Sampai pada titik ini, saya-pun menjadi bingung untuk menjawabnya, “Tak’semudah mengatakannya melalui bahasa tulisan.”
Tapi saya meyakini bahwa dukungan sosial dari pasangan kita dapat menurunkan kadar glukokortikoid, hormon stress, karena gejala-gelala penyakit sosio-ekonomik ini lebih dulu lahir dari dalam keluarga(internal), baru kemudian faktor eksternal. Setidaknya ketahanan sosial yang berbasiskan keluarga jauh lebih menentramkan jiwa ketimbang harus percaya kepada pendapatnya Sapolsky.
Di Indonesia ini memang agak membingungkan, tingkat depresi mental itu masih tabu untuk diungkapkan secara gamblang, namun kita dapat menelusurinya melalui gaji seorang arsitek(bekerja di perusahaan konsultan), dari arsitek pengalaman nol tahun hingga arsitek pengalaman sepuluh tahunan, kisaran gajinya dari 2juta sampai dengan 4juta-an, dengan pendapatan yang demikian, besar kemungkinan dapat memicu ‘stres’ jika patokannya berdasarkan nilai uang dalam satu wilayah(Jakarta), dibandingkan dengan pandangan ‘wah’ oleh masyarakat. Agak beruntung, jika bekerja di perusahaan yang cukup mapan, biasanya untuk jabatan tertentu mendapat mobil dari perusahaan, dan untuk semua jabatan pada umumnya akan mendapat bonus akhir tahun atau bonus prestasi. Agak miris memang, jika Arsitektur dipertaruhkan dalam meja bisnis dan profesi. Bagi yang tidak beruntung, sepertinya harus percaya pada angka-angka yang disajikan oleh BPS(Badan Pusat Statistik) menyoal pengangguran dengan pendidikan sarjana, walaupun tidak spesifik menyebutkan angka dan dari sarjana apa saja. Dalam dunianya yang mau tidak mau sarat dengan nuansa komoditas, arsitektur memang terpaksa harus berhadapan dengan ‘Rupiah’. Tapi sepertinya tidak untuk NEA, walaupun penelitian ini bukan untuk Indonesia, mengklaim bahwa dalam masa resesi, tingkat pengangguran arsitektur cenderung menjadi yang terendah di antara semua pekerjaan dalam kategori Artis NEA. Dalam pemikiran saya mungkin saja memprediksi arsitektur menjadi salah satu pasar terbesar pertumbuhan di masa depan, lebih pada konteks art atau seni, semisal industri kreatif yang berbasiskan pada produk-produk keahlian mandiri.
Lebih dari soal prediksi-memprediksi melalui angka statistik dan atau terlalu mendengar banyak pakar dan lembaga survey, sepertinya untuk arsitek yang ada di Indonesia memang tidak luput dari sorotan masyarakat menyangkut status sosial, kemudian berubah menjadi ‘merasa miskin’, dan berakhir dengan stress. Yang jadi pertanyaan itu apakah profesi arsitek itu panggilan atau keterpaksaan? Tidak mudah untuk menjawabnya, semua relative, tergantung situasi dan kondisi, tergantunng ruang dan waktu.
Terlepas dari sifat kerelatifannya, apakah profesi ini panggilan atau keterpaksaan, dalam pandangan ketimuran; “Bukan alasan yang kuat mengorbankan, keluarga, rumahtangga, kekerabatan sosial, kesejahteraan, dan kesehatan mental, demi arsitektur dalam konteks profesi arsitek.” Dan tidak juga untuk melarikan diri dari arsitektur yang sudah tertanam dalam jiwa.
Arsitektur itu bukan hanya persoalan menyelesaikan masalah perancangan, tapi dia juga harus berhadapan dengan masalah pisikologis dirinya. Apakah menjadi sebuah pekerjaan yang menyenangkan atau sebaliknya. Berkaitan dengan pisikologis seorang arsitek, paling tidak ada tiga hal yang terkait dengan masalah kesehatan mental yang harus dijaga oleh seorang arsitek :
  1. Narcissistic itu adalah gangguan kepribadian (Personality Disorder). Bersifat introvet, berpusat pada diri sendiri, apalagi jika sudah ada karyanya yang sedikit saja diakui, kemudian asyik berfantasi atas keberhasilannya, kemudian mulai mencari perhatian orang lain agar melihat karyanya(diluar batas-batas kenormalan mengharapkan penyangjungan). Hubungan menjadi interpersonal terganggu karena kurang empati(padahal factor interpersonal sangat dibutuhkan oleh arsitek abad 21), tanpa timbal-balik empati(memaksa orang lain untuk melakukan yang terbaik untuknya, tanpa keinginan untuk berempati membalas kebaikannya), menegasikan saling menghargai dan menghormati. 
  2. Masochistik, sikap sadistik, baik kepada orang lain maupun kepada dirinya sendiri, biasanya dalam perusahaan terjadi penekanan yang sifatnya mengancam secara halus kepada bawahannya untuk memaksakan gagasannya diluar batas-batas kenormalan, bahkan dirinya akan merasa puas menjadi obyek yang disakiti melalui pekerjaan-pekerjaan arsitekturnya.
  3. Obsessive-Compulsive Disorder, itu semacam gangguan kecemasan (Anxiety Disorder): pikiran-pikiran yang ‘kekeh irasional’, yang tanpa Ia sadari datang secara reflek tak terkendali, seperti bertanya berulang-ulang dalam pertanyaan yang sama, mondar-mandir melihat pekerjaan perancangannya, terobsesi dengan hasil pekerjaannya yang belum nyata terlihat, sehingga muncul rasa ragu yang ekstrim, ketakutan ketidakberhasilan, hingga ketidakmampuan mengambil keputusan.
 Kesimpulannya;
  1. Jika kita ingin menjadi Arsitek yang mencintai arsitektur tanpa Phobia, ubah cara berpikir, secara medis memang ini gangguan pada otak, tapi sebetulnya kita sudah sadar berdasarkan pengalaman berarsitektur, masalah kecemasan memang tidak mudah untuk dikesampingkan begitu saja, ditambah dengan berbagai sorotan sosial dan tuntutan profesi. Meminjam kata-kata bijak Mario Teguh, “Kekuatan terbesar yang mampu mengalahkan stress adalah kemampuan memilih pikiran yang tepat. kita akan menjadi lebih damai bila yang kita pikirkan adalah jalan keluar masalah.” 
  2. Karya Arsitektur yang baik bukan lahir dari arsitek yang terpenjara oleh istilah ‘Profesi dalam institusional’. Pekerjaan arsitektur bukan keterpaksaan dalam penderitaaan jiwa oleh karena itu tidak ada keharusan untuk melebih-lebihkan(hyper) pekerjaan ini diatas pekerjaan-pekerjaan lainnya. Sikap professional, proposional, situasional, dan kondisional, adalah kata lain dari pandai melihat ke-diri-annya yang berada dalam realitas keluarga dan masyarakat.
  3. Seperti tidak ada bedanya membayangkan seorang arsitek yang memiliki banyak cara untuk mengejar penghidupannya diluar profesi arsitek dalam pandangan tradisional sebagai perencana dan perancang. Banyak pilihan turunan dari profesi ini yang boleh dinikmati oleh seorang arsitek, tanpa harus terkena penyakit kecemasan. Ini bukan soal sambi-menyambi(karena setiap pekerjaan menuntut konsekuensi logisnya/sikap profesionalisme), tapi ini soal hidup dan penghidupan yang dapat menghalau kecemasan, sehingga itu menjadi sebuah pekerjaan yang menyenangkan.
  4. Jangan membolak-balikan teori Abraham Maslow tentang segitiga piramida ‘Kebutuhan Manusia’, jika itu yang kita lakukan, maka bukan bentuk segitiga piramida yang kita lihat, melainkan kekacauan bentuk yang menghasilkan kecemasan tanpa ujung.
  5. Banyak arsitek yang sering menggunakan kata-kata bombastis, seperti: under-estimate dengan kata “Drafter” seolah-olah sebuah pekerjaan yang “…Gimana,gituuu!!”, padahal menurut sepengalaman saya hampir semua perusahaan besar pernah menjadi “drafternya Bule!”, kemudian supaya ‘keren’, dia menghaluskan kata itu menjadi DED(detail engineering design), atau mulai dengan sikap kecemasannya merasa malu jika diketahui oleh rekan lainnya, sehingga tindakan ‘Ngaku-ngaku’ mulai diwacanakannya. Menurut hemat saya ini adalah sebentuk penyakit jiwa. Jika anda mau sehat, lakukan semua itu dengan perasaan riang/menyenangkan, setiap pekerjaan adalah amanah dalam kerangka tugas kemanusian kita dihadapan Allah sebagai penentu rejeki.
  6. Dengan kemajuan zaman dibidang teknologi komputer, maka melahirkanlah berbagai softwear yang bisa menggantikan tenaga manusia, bukan saja soal ‘tenaga’ yang tergantikan, ditandai dengan kemunculan AutoCad, juga soal ‘nilai rasa’, seperti keahlian yang dulunya dinamakan ‘Gambar Perspektif’, menjadi gambar 3D plus rendering. Satu persatu semua tugas arsitek yang dulunya mengandalkan rasa dan intuisi akan tergantikan dengan softwear-softwear komputer. Yang jadi pertanyaan, “Kenapa kemajuan teknologi ini melahirkan kecemasan baru,” dibarengi dengan istilah-istilah “Itu bukan Arsitek, itu operator computer”, atau “Arsitek gadungan”. Realitasnya hampir semua perusahan menuntut keahlian ini, plus mempersyaratkan lulusan sarjana/D3. Jadi untuk apa meributkannya, sehingga menambah kegaduhan atas kemunculan ‘Barang-barang baru’, kenapa tidak memilih untuk mengenalnya “Tak’kenal maka tak’sayang,”, tidak ada istilah tercela dengan kata ‘Operator komputer’, kembali meminjam kata-kata bijak Mario Teguh “Orang lanjut usia yang berorientasi pada kesempatan adalah orang muda yang tidak pernah menua ; tetapi pemuda yang berorientasi pada keamanan, telah menua sejak muda.” 
Hidup hanya sepanjang napas, kenapa harus memenjarakan diri kepada ‘Profesi arsitek’ dalam arti sempit dan tradisional, bahkan mengkotakan diri dalam institusional, bukankah arsitek membutuhkan ‘Kebebasan’, dimana sebetulnya menjadi keharusan untuk melahirkan karya arsitektur dari arsitek-arsitek yang sehat, sehingga diharapkan dapat menorehkan karya emasnya dalam peradaban manusia.

Kamis, 25 April 2013

JELAJAH ARSITEK DAN ARSITEKTUR: MENJADI ARSITEK ITU HARUS SEHAT MENTAL

MENJADI ARSITEK ITU HARUS SEHAT MENTAL: Yogi K Widayana Sampai hari ini saya belum mengerti, mengapa akhir-akhir ini arsitek itu menjadi begitu ‘latah’ , meributkan soal profe...

JELAJAH ARSITEK DAN ARSITEKTUR: 13 MISTERI MAGANG BAGI SEORANG ARSITEK MUDA

13 MISTERI MAGANG BAGI SEORANG ARSITEK MUDA: 1. Bagi seorang arsitek muda, Magang itu seperti ‘Omong kosong’, sebaiknya Anda membaca ‘ Kitab Omong Kosong ’ karya Seno Gumira Ajidarma ...

13 MISTERI MAGANG BAGI SEORANG ARSITEK MUDA


1. Bagi seorang arsitek muda, Magang itu seperti ‘Omong kosong’, sebaiknya Anda membaca Kitab Omong Kosong karya Seno Gumira Ajidarma, terlebih dahulu, baru kemudian anda menelusuri ‘Omong kosong’ melalui Filsafat Bahasa Friederich Ludwig Gottlob Frege, seorang  filsuf, matematikawan dan ahli logika berkebangsaan Jerman. Ia menggunakan logika dan matematika pada filsafat bahasa untuk memahami cara bahasa terkoneksi dengan dunia nyata, dalam rangka memperoleh pengetahuan yang logis. Jika Anda sengaja membolak-balikan urutan resep magang ini, maka jangan salahkan pepatah kuno “Gantungkan cita-citamu setinggi langit, hanyalah kenangan belaka”

2.Tutur kata, gerak tubuh, dan penampilan, adalah alat komunikasi anda pada perusahaan dimana Anda magang, dan keberlanjutannya setelah anda tamat magang, untuk itu pastikan semuanya up to date.

3. Jangan sekali-kali meyakini bahwa ‘Magang’ berkorespondensi dengan ilmu arsitektur yang sudah Anda kuasai, karena kepentingan bisnis jauh diatas segala-galanya. 

4. Mengetahui sekaligus memahami peran Anda dalam perusahaan dimana tempat Anda magang, adalah keutamaan untuk mensetting cara anda berkomunikasi dari yang tersurat hingga yang tersirat.

5. Anda harus curiga jika perusahaan dimana tempat Anda magang mengharapkan Anda bekerja lebih dari 8jam perhari, dengan dalih “Rajin pangkal pandai,” (lihat point.3) kecuali anda dibayar secara wajar.

6. Jika peran anda tidak mirip dengan peran Anda pada saat berada di ruang studio ujian akhir sekolah arsitektur, bukalah jendela dan lihatlah!, siap-siap angkat kaki dan cari perusahaan lain, jangan lupa untuk segera minta surat referensi magang.

7.  Magang tidak ada hubungannya dengan karir profesi arsitek, oleh karenanya jangan dijadikan keharusan yang mengecilkan imajinasi, membudakan jiwa, hingga kesehatan emosional Anda terganggu. Jika itu terjadi, pastikan anda sering-sering membaca buku ‘Kecakapan hidup’.
 
8. Magang itu bukan untuk menjadikan Anda seperti arsitek avant-garde atau kesenangan merujuk kepada orang/karya yang eksperimental yang menunjukkan perlawanan terhadap batas-batas apa yang diterima sebagai norma dalam suatu kebudayaan, karena Anda bekerja dalam ruang yang dibatasi oleh struktur dan hirarki kerja, jika kurang yakin, baca kembali point nomor.3.

9. Magang itu seperti cara untuk bagaimana melihat naik-turunnya grafik ekonomi suatu wilayah, dimana kala itulah seorang arsitek sedang dibutuhkan, oleh karena itu, tidak ada yang lebih penting dari kegiatan magang selain mempelajari cara meraih keahlian bisnisnya, untuk berani bertindak lebih maju ketimbang tempat dimana Anda magang.

10. Jika Anda diberi kesempatan untuk berhubungan dengan orang-orang di luar tempat Anda magang, keutamaanya adalah kejujuran dan ketulusan, seperti persahabatan, yang hasilnya akan Anda tuai di kemudian hari. Ini adalah cara mudah untuk mem-branding diri Anda sebagai seorang arsitek professional.

11. Dalam magang Anda harus memahami bahwa Arsitektur adalah sebuah profesi tidak independen, sangat tergantung pada boom dan bust, Dimana adakalanya siklus perekonomian mengalami pertumbuhan dan peningkatan. Pada saat booming ekonomi, ditandai dengan order meningkat, dan ketika terjadi kemandekan perekonomian, ditandai dengan penurunan order. Artinya magang bukan satu-satunya cara untuk belajar hidup dari arsitektur, melainkan belajar menemukan cara lain untuk mengatakan arsitektur dalam hidup Anda. Jika tidak!, gelar pengangguran intelek siap menghadang masa depan Anda.

12. Merangkul media sosial atau membuat blog pribadi di era, dimana teknologi informasi menjadi panglimanya, sepertinya sah-sah saja, karena bukan hal yang baru atau aneh, dalam budaya berinternetan, juga dipercaya dapat mem-brending jatidiri Anda sebagai seorang arsitek. Akan tetapi harus pandai-pandai melihat situasi dan kondisi, sebelum berterus terang bahwa Anda aktif dalam media semacam ini, karena kebanyakan para bos-bos atau arsitek senior tidak suka dengan cara ini. Entah kenapa?.
13. Magang itu tempat dimana anda mengadu ilmu tentang perangkat lunak rancang bangun dan mengukur kualitas perangkat kerasnya, kemudian tidak kalah pentingnya untuk mencari tahu dimana tempat termurah membelinya.