Laman

Translate

Rabu, 24 April 2013

MENJADI ARSITEK ITU HARUS SEHAT MENTAL

Sampai hari ini saya belum mengerti, mengapa akhir-akhir ini arsitek itu menjadi begitu ‘latah’, meributkan soal profesinya sendiri, topik yang diributkanpun sebetulnya bukan barang baru dalam wacana perarsitekturan di Negeri ini.Tidak heran jika arsitek dianggap profesi yang rumit.
Latah’ itu adalah;  Ciri untuk kepribadian naif atau lemah. Salah satu sebabnya, menurut Teori Kecemasan, muncul karena yang bersangkutan memiliki kecemasanterhadap sesuatu tanpa ia sadari. Rata-rata, dalam kehidupanpengidap latah selalu terdapat tokoh otoriter yang menekan, mendominasinya.
‘Latah’, dalam relasi penyakit jiwa, ternyata selalu didahului oleh mimpi yang menimbulkan kecemasan berlebihan, ‘Hipersensitif!’, dibedakan juga antara latahpada orang kecil, berbeda dengan kalanganatas. Mungkin seperti tingkatan Latahnya arsitekpratama, arsitekmadya, arsitekutama, akan berbeda pada setiap tingkatannya. Secara harafiah, ‘Mimpi’ adalah sesuatu keadaan bawah sadar ketika sedang tidur, Tetapi lebih berbahaya lagi ketika mimpi itu tidak sedang tidur, maka kata ‘mimpi’ untuk sebuah metafora, “Ia adalah pemimpi,” di sini,  mimpi memiliki makna ‘orangyangsuka mengkhayal’.
Celakannya!, ……..’Latah’ itu berubah menjadi penyakit menular, ‘gara-gara latah’, seseorang
merasa diperhatikan oleh lingkungan atau komunitas tertentu sebagai tokoh otoriternya. Dengan begitu, latah jugamerupakan, semacam cariperhatian agar diakui oleh komunitasnya, merasa lebih gaul, ‘latah gaul’, namanya!.
Tapi yang membuat saya sedikit terusik ketika, ‘P.M.Yap’[1] bilang, "...Fenomena kebudayaan ini terjadi pada bangsa yang memiliki perkembangan teknologi rendah, belum menemukan, cara menguasai lingkungan alaminya, seperti negara maju."
jadi kasarnya, ‘Yang sejengkal tidak dapat jadi sedepa’,  latah memang Sesuatu yang tidak dapat diubah lagi, cocok untuk bangsa kita yang masih berkembang.”
Latah dianggap induknya bagi kemunculan gejala lain yang menyebabkan penyakit mental bagi arsitek.
Beberapa hipotesa yang memicu berkembangnya penyakit latah bagi arsitek:
Hipotesa pertama; ‘Cyber-Culture’ telah mensuburkan budaya ‘Latah’  
Memang Unik, sebuah anomali ketika dunia arsitektur tengah disibukan oleh bagaimana membangunan prodi arsitektur hingga melahirkan arsitek yang memiliki kompetensi, negeri ini baru kemudian sibuk mencari legitimasi untuk seseorang bisa disebut ‘arsitek’, dalam perkembangannya berubah menjadi semacam perbincangan imajinatif yang cenderung lepas dari realitas sesungguhnya. Ramai-ramai men-disain persepsi dengan referensi sendiri untuk sekedar menjastifikasi keinginannya, atau komunitasnya. Terkadang referensi yang dimaksudkan juga dirancang seolah-olah mengandung nilai keilmiahan. Bahkan terkadang ambigu, disatu sisi penganut  paham Positivismelogis yang seharusnya membicarakan representasi akurat realitas eksternal, tetapi disisi yang lain menggunakan referensi subyektif, seperti keinginan untuk ‘melebih-lebihkan’(hyper), Misalkansaja; Ada yang menyebutkan kalau, ‘Arsitek itu seperti malaikat yang baik hati, peduli dengan masyarakat umum’, kemudian dia mentokohkan ‘Kontraktor’ sebagai mahluk buasdanjahat, kapitalis, hanya ‘untung’ dan ‘untungsaja’ yang ada dalam otaknya kontraktor. Padahal kalau kita cermati dengan jujur bahwa seorang arsitek itu belajar tentang menerapkan teknologi itu dari keberadaan kontraktor.
Saya teringat lelucon senior saya, sewaktu rapat koordinasi lapangan, katanya, “Si Kontraktor itu tahusegalanya, tapi pura-pura tidak tahu’, …….Nah, Si Arsitek terpaksa harus tahu segalanya, karena jika tidak tahu maka akan menjadi bulan-bulanan kontraktor’, yang palingparah, menurut saya adalah julukan untuk Si dosen arsitektur, cukup simpel, katanya ‘Sok tahu…lo!!’.”
Tidak kalah gaduhnya membincangkan prodi arsitektur, ‘Gara-gara latah, meributkan prodi arsitektur tak’cukup syarat menjadi arsitek’, telah memberikan efek ‘Brand Loyalty!’
Keterlibatan Brand loyalty suatu ukuran ketertarikan calon mahasiswa untuk masuk kedalam Perguruan tinggi yang sudah punya ‘merek’, dinegeri kita kampus-kampus yang terutama karena ditakdirkan untuk lahir ke dunia terlebih dulu, akan mendapat keuntungan, karena dengan lamanya hidup, lebih lekat dimata, memberikan gambaran sekaligus pilihan dibandingkan dengan harus beralih ke prodi arsitektur tak’bermerek karena beranggapan; Jika bermerek ‘bisajadiarsitek, Jika tak’bermerek menjadi arsitektandatanya, padahal bukan itu duduk soal sebetulnya, bukan soal merek, tapiadasesuatu dunia gelap tentang profesi ini yang tak pernah diungkapkan ke publik, “Ada yang sedang memperebutkan kue.”
Dalam konteks global prodi arsitektur luar negeri jauh lebih ‘Oke’, ketimbang di negeri sendiri, begitu seterusnya efek Brand loyalty akan subur hidup ditengah budaya ‘Latah’. Jadi dengan alasan ‘Prodi Arsitektur dianggap selalu tak’sesuai kebutuhan profesi’, yang diungkap secara berulang-ulang, itu sama artinya dengan, ‘kita sama-sama sedang menalikan leher ditiang gantungan’, padahal sebetulnya dari dulu juga tracknya prodi arsitektur selalu berlari meninggalkan masalah praktis, dengan alasan ilmu arsitektur tak’bisa disempitkan oleh masalah praktis yang selalu berubah (kalau di Indonesia, perubahan dunia praktisi lebih kepada urusan politis), kalaupun ada cara untuk keluar dari masalah, selalu saja yang menjadi tumbalnya adalah calon arsitek.
Kemudian dalam kancah perarsitekturan kita juga mengenal ‘Latah-Lebay’[2], suka mencarimenggunakan legitimasi-legitimasi, seperti urut-urutan kalimatnya selalu dimulai dari kalimat ‘kesepakatan WTO (World Trade Organization)’, jadi harus ada sesuatu dulu yang jadi ‘alatpenampar’, kemudian diiringi dengan kalimat mengeluh sekaligus menyalahkan, ‘seandainya negeri ini punya Undang-undang keprofesianarsitek (architect act), kemudian mencari-cari contoh sekaligus bernostalgia ke seratus tahun yang lalu seandainya negeri ini di jajah Inggris, maka Sistem yang diterapkan di Inggris(RIBA) yang dianut Negara persemakmurannya Singapura, Malaysia, Australia, Hongkong dan India, akan juga dinikmati oleh negeri ini.
Kemudian dengan pongahnya, jika saja tulisan ini dapat menggambarkan ‘bunyidramatis’ se’ekor kucing jantan yang,…..‘mengaummmm-ngaum’, seperti singa!!, hendak berbunyi sama dengan, ‘asosiasi profesi di Amerika (AIA), Jepang (AIJ) dan Cina, yang katanya sudah menerapkan prinsip-prinsip profesionalisme bagi arsitek di negeri masing-masing.
Setelah itu, dimulai dengan tindakan ‘sedikitmengalah, tapi untuk meningkatkangengsi’, dengan cara meligitimasi dirinya adalah anggota Uni Arsitek Internasional (UIA), atau menjadi anggota Dewan Regional Arsitek Asia (ARCASIA), kemudian seperti menyalahkan diri sendiri, sambil berlindung dalam kalimat,  ‘terikat kesepakatan dan keputusan yang dikeluarkan oleh organisasi tingkat dunia maupun regional’.
Untunglah, ‘Ikatan Arsitek Indonesia’ bukan anggota FIFA, yang bakalan kena sanksi statuta FIFA tidak boleh ‘merumput’, padahal sedang ditunggu klub Chelsea, Tim besutan Rafael Benitez yang berhasil melaju ke partai puncak Piala Dunia sepakbola Antarklub.
Sampai pada titik ini kelatahan tulisan masih sama, bermain-main dalam ‘legitimasi institusional’, menjadi semacam kesenangan tersendiri ditengah carut-marut ketiadaan pekerjaan rill yang mendera para arsitek.
Dari dulu hingga sekarang, bangsa ini memang tak’pernah lepas dari rantai kaum imprialis, tidak pernah ada satupun hajat hidup bangsa ini yang luput dari mata imprialis. Selalu saja mau didikte oleh kekuasaan asing, dimana mereka sudah terlebih dahulu membangun rumah kearsitekturannya, sedangkan negeri ini, baru saja memancangkan pondasi rumahnya, sudah hendak memasang atap.
 “…Nah!...,” Ada sebuah situs, sebut saja TheArchitects' Journal (AJ) subdirektorinya Linkedin,” awalnya adalah situs bagi para ‘Pencari kerja’ kemudian berkembang menjadi forum diskusi pendidikan dan keprofesionalan, salah satu yang dibincangka adalah tentang profesi arsitek.
“…Sebut saja seseorang itu dengan initial ‘Cr’,” memposting komentarnya;
“Does the ARB/RIBA Part 1/2/3 system need an overhaul? How can we better prepare students for a life in today's profession?
With tuition fees at £9k per year, universities have a responsibility to adequately prepare students for today's architectural profession - is the Part 1/2/3 structure outdated? Out of step with salary expectations? Are the universities teaching what we need to know?.”

Dari kalimat komentarnya kita dapat menarik isyarat yang menunjuk, bahwa untuk organisasi profesi sekelas ARB / RIBA yang menyoal pendidikan masih sering dipertanyakan secara tajam hingga dibenturkan kepada ‘Hitungdaganguntung-rugi’, berkaitan dengan ekspektasi soal gaji(salary), pertanyaan mendasar bagaimana mempersiapkan mahasiswa untuk mampu hidup dalam profesi arsitek, semacam menuntut untuk mengajarkan apa yang perlu diketahui dalam profesi arsitek di masa mendatang. Artinya kerisauan mengenai profesi arsitek dimasa depan juga melanda mereka. Bedanya mereka sudah merasuk kedalam substansi, sedangkan negeri ini memindahkan substansi menjadi sampul luar wacana, karena isinya tergantung kepentingan subjektivitas satu, dua orang saja.
Hipotesa kedua; ‘Pertama dari kelatahan, kemudian menjadi gagap, hingga menjadi sebentuk kerisauan melihat masa depan profesi ini’. Jadi ada semacam penyakit mental yang harus diwaspadai, mungkin seperti parasit yang hidup dalam tubuh seorang arsitek.
Di zaman dahulu, seorang arsitek setara dengan seorang ‘Mpu’, dapat dibayangkan, pastilah memiliki kemampuan yang tidak biasa, karenanya sangat dihormati, menjadi sosok manusia yang memiliki kasta yang disetarakan dengan pemimpin spiritual. Saya menangkap bahwa arsitek jaman dulu itu memiliki keamampuan olah batin yang mumpuni sehingga daya imajinasinya terhubungkan dengan baik antara spiritual, kepribadian, dan lingkungan alamnya.
Tuturkatanya pastilah bijak, sehingga menjadi panutan, sekaligus sebagai petunjuk pelaksanaan dalam suatu pembangunan. Apa yang terjadi di zaman millennium ini, ketika profesi arsitek memasuki ranah industri kapitalis, bahkan memasuki bisnis-bisnis kartel, pergeseran penghargaan akan kepiawaian seorang arsitek, tidak lagi dalam bentuk-bentuk penghormatan melalui perbedaan kasta, tetapi penghargaan itu dinyatakan dalam satuan mata uang tertentu. Ini sebuah realitas yang seharus diterima oleh para arsitek di Negeri ini, agar tidak selalu berada ‘Diantara’ dalam relasional; ‘Antara kehidupan arsitek masa lalu dengan sekarang’, menjadi seorang arsitek yang feodal, sementara disisi lain harus menerima kenyataan bahwa profesi ini bukan profesi yang independen.
Jadi, keberhasilan membangun Dunia perarsitekturan di Negeri kita itu sebetulnya bukan hanya soal menalar, pemahaman gagasan, merencanakan, dan berfikir untuk memecahkan masalah;  tetapi tidak kurang pentingnya, bagaimana mengasah dan menjaga kesehatan emosional; Kemampuan manajerial pribadi, membangun semangat, ketekunan, dan kemampuan untuk memotivasi diri sendirinya sendiri. Hal ini sangat penting untuk menghadapi sebuah situasi yang tak’pasti dalam kehidupan seorang arsitek, sehingga mampu bertahan menghalau frustrasi, kesanggupan mengendalikan emosi, tidak melebih-lebihkan sesuatu yang bukan realitasnya, agar tidak menjadi beban, stress yang berakibat fatal untuk menjaga stabilitas kemampuan berpikir.
Hal menarik dari kecerdasan emosional juga membantu pikiran kita dalam berempati, memelihara interpersonal sebaik-baiknya, kemampuan untuk menyelesaikan konflik, serta untuk memimpin diri dan lingkungan sekitarnya, dan sebetulnya disini letak esensi dari seorang arsitek, yang tak’pernah digarap oleh prodi arsitektur, apalagi mengharapkan niat baik organisasi profesi untuk memikirkannya.
Coba Telisik Pendapat Janet Baker dari Departemen Kesehatan West Midlands Birmingham UK,
The Learning Architect provided a very enjoyable and energetic day for the team. We received lots of tips on having a positive approach to work and life and how to manage our own emotions. We were encouraged to look for opportunities and to make sure we take care of ourselves in times of change.”

diunggah pada situs thelearningarchitect.com, sebetulnya, saya semata-mata hanya ingin mengetahui, sisi lain dari ‘Sesuatu’ yang ada dibalik layar, kenapa peraturan-peraturan menyoal profesi arsitek ini banyak Negara merujuk ke Inggris, katakanlah itu RIBA(Royal Institute of British Architects). Salah satu kenyataanya adalah; Belajar menjadi arsitek sudah menjadi perhatian departemen kesehatan setempat, boleh jadi ketentuan yang dikeluarkan oleh RIBA dihasilkan oleh manusia-manusia yang memiliki tingkat kesehatan emosional yang baik. Jika saya menafsirkan pendapatnya;  Jadi belajar menjadi arsitek itu sama dengan menyediakan hari yang menyenangkan dalam kelompok(civitas akademika).
Yang sudah sehat secara emosional saja masih menjadi tumpahan kritik, apalagi yang ‘ITU?’….. ha…ha…ha….ha’.”
“…Jadi,” mungkin yang alpa dalam pengajaran ilmu arsitektur di Negeri ini adalah; ‘mengasah kecerdasan emosional untuk selalu menggunakan pendekatanpositif,  terhadap pekerjaan dan kehidupan;  Pada bagaimana mengelola emosi kita sendiri.  Jadi apapun perubahan yang terjadi dalam kehidupan arsitek; harus memiliki kemampuan positif untuk memepertahankan diri dalam suatu perubahan.
Contoh lain dari hipotesis saya tentang penting kesehatan emosional adalah;  Ketika secara tak sengaja saya menemukan ‘Naskah Undang-Undang Arsitek’, saya membayangkan Undang-undang arsitek itu semangatnya seperti Le Corbusier seorang arsitek Swiss yang terkenal dengan aliran International Style, bukan saja seorang arsitek, Ia juga sorang pelukis, pemahat, penulis dan perancang perabot. Artinya undang-undang itu juga seperti membuka peluang terhadap bagaimana arsitek melihat realitas dirinya, Ia tidak menyukai segala bentuk hiasan atau ornamentasi, tanpa harus menambah banyak kalimat yang tidak penting untuk arsitek di Negeri ini, seputih rancangan corbu, setulus hati sebesar-besarnya untuk membangun kearsitekturan di Negeri ini, “Bukan menitipkan subyek kedalam obyek.”
Seperti membayangkan Berliner Philharmoniker dari Jerman, sebuah kelompok orkes simponi terbaik didunia memainkan ‘Tchaikovsky: Romeo and Juliet’ bersintesa  dengan Ki Tjokrowasito seorang pakar karawitan sekaligus komposer gamelan terkenal hingga ke manca Negara, memainkan ‘Kuwi Opo Kuwi’, menyatu membangun harmoni, bayangkan bagaimana kejadiannya jika menjadi hegemoni, tentu bukan orkes simponi namanya.  
Tidak ada bedanya seperti sedang mencari terminologi kata ‘Harmoni’ diucapkan oleh orang Inggris, dan kata ‘Hegemoni’ diucapkan oleh Anak Negeri. Jadi tidak perlu membaca hingga akhir dari nasakah Undang-undang arsitek, karenanya ‘rohnya’ saja sudah beda, menurut perkiraan saya, ada perbedaan tingkat kesehatan emosional. Boleh jadi para arsitek Inggris secara kesehatan emosional sudah tidak harus pusing memikirkan ‘soalperut’, ketika sedang merancang Undang-Undangnya, berbanding terbalik dengan para arsitek kita pembuat naskah Undang-Undang arsitek ini masih ‘galau’ soalperut yang tak’cukup syarat untuk menjaga kesehatan emosinya.
Tapi dalam kesempatan ini, saya tidak bermaksud untuk memperbandingkan dua hal diatas, sorotan saya kepada ‘Pentingnya memelihara kesehatan emosional seorang arsitek sejak dini.
Hipotesa ketiga; Matakuliah Perancangan Arsitektur adalah media paling efektif untuk mengembangkan sekaligus menjaga kecerdasan dan kesehatan emosional.
Dalam kehidupan kampus, seorang dosen bukan saja sekedar mengajarkan mata kuliah perancangan arsitektur tetapi lebih jauh dari itu harus memandang setiap mahasiswa itu unik, harus menemukan potensi kreatif dari masing-masing mahasiswa, membebaskan imajinasi mereka, agar tidak tertekan yang seringkali para mahasiswa arsitektur membenamkan imajinasi tentang ide-ide, paling tidak seumur mereka mengecap bangkukuliah karena kebanyakan dosen di Negeri kita itu penganut faham feodalisme, suka melakukan tidakan kritik yang menjurus kepada ejekan merendahkan potensi mahasiswa.
Zaman dulu mungkin namanya ‘Dosen’, tapi sekarang harus berubah menjadi ‘Fasilitator’. Memang sulit!, untuk perubahan istilah ini saja, sepertinya memerlukan waktu panjang untuk mendiskusikan wacana perubahan ini.
Jadi, tugas prodi arsitektur yang paling utama bukan mengajarkan ilmu perancangan arsitektur, tetapi menemukan cara agar para mahasiswa arsitektur selalu bereksplorasi dalam tugas-tugas perancangan, tidak menutup kemungkinan model-model eksperimental, tidak sekedar meniru-niru. Cara ini telah terbukti berhasil mengembangkan kepribadian calon arsitek, yang ternyata lebih hidup dalam suatu lingkungan yang bebas dari tekanan, dengan melibatkan interaksi kelompok-kelompok mahasiswa untuk bereksplorasi, sebagaimana kelak di kemudian hari akan dijumpai di dunia nyata / profesinya 
Kata Darwin, “Manusia itu spesies yang paling mudah beradaptasi.”
Dalam sebuah kerja disain arsitektur dan rekayasa konstruksi masa depan, akan banyak menghadi tantangan multifaset dan interdisipliner. Kerja sama dan cara komunikasi antara personal yang berkepentingan menjadi keutamaan bagi keberhasilan penyelesaian sebuah proyek bangunan. Bentuk-bentuk baru integrasi tidak bergerak pada masing-masing lingkup tugas keprofesionalan, tetapi memaksa harus memiliki keterampilan trans-profesional antar pemangku kepentingan, beda dengan persyaratan untuk keterampilan interdisipliner.
Di Negeri kita prodi arsitektur dan insinyur masih menggunakan faham tradisional, seperti sebuah lingkaran disiplin ilmu yang ketat.
Seharusnya keterampilan interdisipliner sudah merupakan bagian dari pedagogis dengan melakukan kegiatan pengajaran integratif dimanasikap antara disiplinilmu yang berbeda dapat di arahkan kepada tujuan bersama secara tepat. Dalam mata kuliah perancangan arsitektur sebagai core pendidikannya, dilakukan penilaian seperti model penjurian, yang beranggotakan dari berbagai latar yang disesuaikan dengan temanya.
Dosen mata kuliah perancangan arsitektur hanya mentransfer ilmu pada saat kuliah dan bertindak sebagai fasilitator pada saat asistensi kerja kelompok. Dosen tidak memiliki kapasitas untuk mejastifikasi sebuah nilai pada hasil karya mahasiswa, semua tergantung akumulatif nilai yang diberikan oleh juri. Tidak ada unsur feodalistik yang dilakukan oleh dosen pada umumnya.
Untuk proyek tugas akhir, keanggotaan juri semangkin lengkap disesuaikan dengan lingkup proyeknya, tidak menutup kemungkinan mendatangkan juri dari budayawan, dewan kota atau yang lebih spesifik keahlianya.
Dengan kesehatan mental yang baik diharapkan dapat memasuki alam reformasi karir arsitek Indonesia secara aman dan damai.



[1] P.M. Yap, 1952. Membahas persoalan ‘Latah’ berjudul ‘The Latah Reaction: Its Pathodynamics and Nosological Position’, dalam ‘ Journal of Mental Science’,  XCVIII, 1952: Pp. 515-564.
[2] Kata-kata ‘gaul’ untuk menyatakan tingkah laku, tutur kata, yang suka melebih-lebihkan, padahal realitasnya tidak sama persis dengan yang ditingkahkan atau diucapkan.


Tidak ada komentar: